SEPERTI MERAIH BINTANG
karya: SAFIRA MILLANIA AZZAHRA / 5F
Kenalkan, namaku Nur Fatia. Teman-temanku biasa memanggilku Fatia. Sebaiknya, kalian itu enggak perlu muji aku. Teman-temanku juga enggak pernah muji aku kok! Habis… mau dibilang cantik, juga enggak. Dibilang pinter, juga enggak. Dibilang kaya apalagi! Mana mungkin! Yahhh… begitulah, aku mau nentuin cita-cita pake pusing tujuh keliling! Meski belum satu kali pun aku enggak naik kelas, tetep aja! Sehari-hari juga ngalamin nasib yang sama. Mau jadi penulis, nggak bakat juga. Apalagi yach… “Woi, Fat! Ngelamun lagi! Nggak ada kerjaan lain apa?!” kata-kata dari mulut Fani, sahabatku itu sampai-sampai mengagetkanku. “Emang kerjaan apa?” tanyaku iseng. “Haaah… kamu ini bikin repot orang aja! Sudah sana cepetan siapin peralatan lukismu! Habis ini pelajaran melukis kan?!” Tanya Fani. “Eh, jangan bilang kalau kamu tidak membawa yaaa…?!”kata Fani kembali. “Iya, iya ah! Sudah sana pergi!” kataku cepat-cepat. Fani pun segera kembali duduk di bangkunya, sedangkan aku segera menyiapkan alat lukis. “BU ELMA DATAAANG!!! BU ELMA DATAAANG!!!” teriak anak-anak di kelasku. Memang benar, setelah itu terdengar suara pintu kelas terbuka. Baru saja seisi kelas berteriak, setelah itu suasana langsung berubah 180%. Suasana kelas langsung hening. Tinggal suara derit pintu saja yang terdengar. Aku memang melihat Bu Elma memasuki ruangan kelas. “Assalamualaikum anak-anak?!” salam Bu Elma memecahkan keheningan kelas. “WAAIKUMUSSALAM WARAHMATULLAHI WABARAKAATUH. ”Ucap serempak seisi kelas termasuk aku.
“Nah, sekarang kalian akan mempelajari bagaimana caranya…” suara Bu Elma terdengar mulai memelan di telingaku. Rupanya aku mulai terjun lagi ke dalam duniaku, melamun. “Nah! Kalian sekarang sudah paham kan bagaimana caranya melukis?” kata Bu Elma menyudahi penjelasannya. “GLEK!” aku menelan ludah. “Duuuhhh… gimana nih?! Aku belum mendengar penjelasannya sama sekali!” gumamku. “Fatia, kelihatannya tadi kamu memerhatikan penjelasan saya ” Tanya Bu Elma dengan kepercayaan penuh tertuang kepadaku. Teman-temanku yang lainnya pun ikut menoleh memandangku. Rasa gugupku pun bertambah. “Duuuhh… gimana nih?! Ya sudahlah! Yang penting jalanin aja deh!” gumamku. “eh… I… iya bu!” jawabku tergagap. “Bagus! Sekarang kalian bolrh memulai membuat lukisan kalian! Tapi ingat, dengan hati nurani kita yaa?!” kata Bu Elma. Semua pun segera memulai membuat lukisnnya sendiri-sendiri. “Hhmmm… dengan hati ya…? Oke! Aku pasti bisa!” gumamku. Aku pun segera memulai membuat lukisanku agar tidak tertinggal dari yang lainnya. Setelah lukisanku selesai, aku segera memandanginya dengan perasaan puas dan bangga. Lukisan itu terlihat indah di mataku, sampai-sampai aku malah senyum-senyum sendiri. Memang, jika dilihat orang lain lukisan itu tidak akan terlihat bagus, tapi aku puas karena karena lukisan itu adalah hasil jerih payahku yang telah membuatnya dengan sepenuh hati. “Naahh.. sekarang sudah bisa dikumpulkan hasil karya kalian anak-anak?” kata Bu Elma memecah keheningan kelas. “IIYAAAA BBUUUUUU!!!!” jawab kami secara serentak. Semua segera bebaris didepan meja guru untuk meletakan buku gambarnya. Begitu pun aku. Setelah semua buku gambar terkumpul, Bu Elma menyurh kami untuk melakukan hal lain sambil menunggu Bu. Elma selesai menilai masing-masng lukisan kami, seperti membaca, mengarang, dll. Tetapi tentu saja beliau berpesan kepada kami agar tidak ramai. Tentu saja aku kemballi berangan-angan. “Hmm… rupanya melukis menarik juga ya..?! sepertinya nanti aku akan jadi pelukis nih.. ?! hihihi. Seru juga.” gumamku. Akan tetapi, impianku itu terputus ketika buku gambarku dibagikan. Aku dapat nilai 75?! Dibawahnya tertulis apa-apa hal yang belum kukuasai. Misalnya,- kau belum bisa menggambar secara rapi ,- kau belum bisa meukis dengan rapi ,- warna yang kau padukan belum pas , dll. “HUH! SEBEELLL!!! Padahal aku sudah berusaha semaksimal mungkin?! Gimana bisa?!” gumamku kesal. Aku pun buru-buru memasukan buku gambarku ke dalam tas sebelum yang lain melihat. “Hmm… mungkin lain waktu aku bisa berhasil! Pasti!” gumamku yakin.
Pelajaran demi pelajaran telah berhasil ku lewati dangan hasil yang baik. Setelah merapikan meja dan semua buku telah kumasukkan kedala tas, aku ingin kembali berangan-angan tetapi tiba-tiba dikagetkan ole… “Teng… teng… teng…”oleh bel pulang sekolah. Semua anak yang ada di kelasku pun segera berhamburan keluar kelas menuju gerbang sekolah. Rupanya di sana sudah banyak sekali orang tua yang telah menunggu jam pulang sekolah anaknya masimg-masing. Sekarang, aku sudah tiba di depan gerbang sekolah, menunggu kedatangn orang tuaku. Tak peduli mau ada yang manggilin aku atau nggak, tapi aku terlau sibuk melihat orang yang lalu lalang di depan atau di belakangku. Sampai tiba-tiba kudengar suara yang memanggil-manggil namaku. Awalnya kuikir itu pasti adalah orang tuaku, tapi ternyata… “Fatiiaaaa!!!! FATIIAAAA!!!!! F A A T I I I I A A A A A !!!!” yah… ternyata itu Fani. “Hhmmm… ada apa ya? Kok tumben-tumbennya Fani manggilin aku?” gumamku. “Ya? Ada apa Fan?” tanyaku. “Huh! Kamu ini, dari tadi dipanggilin baru noleh sekarang!” kata Fani. “Ya, ada apa?” tanyaku semakin penasaran. “Itu lhooo… masa kamu belum lihat sih?!” Tanya Fani. Aku pun semakin penasaran. Aa yang bekulihat yaaa??? “Emhh… emangnya apa?” tanyaku. “Itu lhoo… papan pengumuman! Emangnya kamu belum lihat?! Kalo gitu, ayo, ikut aku!” ujar Fani sambil bergegas lari, ia menggandeng tangnku. “Aduuuhhh… emang kenapa sih?!” tanyaku ke Fani yang ada di depanku. “TUh! Lihat sediri!” kata PENDAFTARAN HANYA 15.000/ ANAK Fasilitas : snack…”. Setelah selesai Fani sambil mendorong kepalaku. “Eh?! Pengumuman lomba?!” kataku terkejut. Fani pun menganguk. “AYO! IKUTILAH LOMBA MELUKIS YANG DI ADAKAN DI AULA PERPUSTAKAAN MALANG!! SEGERALAH! PENDAFTARAN TERBATAS HINGGA JUMLAH MAKSIMAL 100 ANAK! BIAYA mambaca aku pun bertanya-tanya pada Fani yang lebih berpengalaman mengikuti perlombaan dari pada aku. “Eh, kira-kira nanti kamu mau ikut enggak, Fan?” tanyaku. “YA iyalah! Kan’ aku sudah lama engga ikut lomba kayak gini! Lagian fasilitasnya juga lumayan!Eh, kamu ikut enggak, Fat?” kata Fani terus terang. “Emh.. ikut enggak ya??? Ikut deh! Tapi nanti aku bilang ke orang tuaku dulu!” kataku setengah yakin. “ya udah dh! Daaahh!!! Aku sudah di jemput tuh! Samai jumpa!” ujarnya sambil beranjak pergi dari hadapanku. “Yaaa… daaahhh..!!” ujarku sambil melambaikan tangan tanda perpisahan.
Setelah tiba di rumah pun aku segera meminta izin kepada orang tuaku agar dibolehkan mengikuti lomba melukis. Ya tentu saja orang tuaku menjawab boleh! Aku bersama ayah dan ibuku pun segera menuju tempat pendaftaran lomba melukis. Tapi tiba-tiba aku bertemu seseorang yang kuasa kenal… oh ya! Itu fani! Aku pun segera memanggilnya. “FANIII!!!”teriakku. fani pun menoleh dan melihatku melambakn tangan dengan wajah yang tengah tersenyum lebar. “Eh?! Fatia kan’? ternyata kamu benar-benar daftar lomba ya?! Eh, nanti bangku tempat kita duduk di aula sebelahan ya!” kata Fani senang. “Iya dong!! Biar ada teman ngobrol, iya kan?!” tanyaku senang. “Yaiyalah! Kan nggak seru kalo udah ngajak temen ikut lomba barengan tapi ennggak bisa ketemu. Ya udah, kalau begitu, sepertinya aaku sudah harus pulang ni… aku sudah di tunggu keluargaku dimobil tuh?! Daaahhh!!! Sampai juma di perlombaan nanti!” kata Fani. “Iaya nih. Aku kayaknya juga harus pulang nih. Lagian endaftarannya juga udah selesai kok! Sampai jumpa juga yaaa!” kataku sambil beranjak pergi. Fani sekarang sudah tak terlihat lagi didepan mataku. Yang terlihat hanya segeromblan orang yang berlalu-lalang sibuk terhadap diri sediri-sendiri. Aku pun sekarang jua harus pulang untuk bersiap-siap. Seperti menyiapkan alat lukis, berlatih melukis, dan tentunya istirahat yang cukup supaya nanti di perlombaan tidak lesu, bahkan sakit sehingga tidak bisa mengikuti perlombaan. Pertama-tama aku memeli satu set alat lukis terlebih dahulu, kemudian aku belajar cara memakai dan melukis di les privat agar lukisanku terkesan lebh matang. Yaahh… mungkin masih mending jika aku dapat juara harapan. Lagi pula jika itu teradi, peluangku untuk menjadi peluis lebih besar bukan? Oh ya, selan mengikuti les privat, aku juga sering berlatih melukis sediri di rumah dan juga shalat dan berdo’a yang rajin agar bisa mendapt gelar juara.
Hari yang dinanti-nanti pun tiba, yaitu hari dimulainya perlombaan! Aku sudah menempati tempatku, tinggal menunggu Fani yang belum datang saja! Dan akhirnya..”HAI FATIAA!!! Sudah menunggu lama ya?!” kata Fani yag setengah berlari menuju tempat duduknya, ya tepat sekali! Di samping bangku yang kududuki ini! “Hmm… nggak nunggu lama-lama amat sih… cuman kamu datannya lama amat sih?! Sampai aku kahawair nih kalau kamu tidak datang?!” kataku. “iya, iya… udah, ana kamu siapin perlatan lukismu! Keburu mulai nih perlombaannya.” Kata Fani sambil membuka tasnya dan mengeluarkan peralatan lukisnya, begitu pun aku. Tiba-tiba seorang panitia berdiri dan naik ke atas panggung yang rupanya akan di gunakan sebagai panggung untuk anak yang bergelar juara. Hmmm… rupanya panitia tersebut akan mengumumkan sesuatu… ya! Eh… salah! Ternyata… “Baiklah, sekara kalian semua boleh memulai membuat lukisan kalian dengan tema bencana alam. Waktu yang diberikn untuk kalian melukis adalah 3 jam, setelah itu para panitia akan mengambil langsung lukisa kalian baik yang sudah maupun yang belum. Nanti pengumuman siapa yang memenangkan lomba ini akan diumumkan 1 ½ jam setelah lomba selesai. Demikian pengumuman kami, selaku para panitia, terimakasih dan selamat melukis.” Jelas panitia tersebut. Semuanya pun cepat-cepat memulai melukis, tak terkecuali aku. Aku membuat lukisan yang berjudul ‘Hutan Gundul Sumber Banjir’. Setelah setenah selesai aku menyempatkan melirik lukisan milik Fani. “WAH! HEBAT! Fani kreatif sekali ya?!” gumamku terkagum-kagum. Lukisannya terlihat sangat hidup dan kreatif sekali! Begitu juga dengan perpaduan warnanya. Aku melihat judul lukisan yang di buat oleh Fani ‘Global Warming Penghancur Dunia’! “Waduh! Kalau Fani melukisnya sudah kayak pelukis professional gitu, yang lainnya pasti ada yang lebih hebat lagi nih?!” gumamku panik.
Setelah selesai melukis, aku langsung mengajak ngobrol Fani yang sudah selesai melukis lebih dulu dari pada aku. “Eh Fan, kayaknya aku nggak akn juara deh…” kaaku pada Fani dengan nada yang di rendahkan. “Aaahhh.,.. jangan gitu dogn, Fat! Kan kamu sendiri yang udah niat mau berjuang sampe akhir! Ayo dong… semangat!” kata Fani menyemangatiku. “Iya deh! Aku akan berjuang terus!” kataku. Waktu demi waktu telah belalu sejak kami mengobrol sambil menunggu cat lukisan ku selesai dan panitia akan mengambilnya. Dan tiba-tiba ada pengumuman dari panitia… “Baiklah, waktu melukis sudah habis, kini panitia akan segera mengambil hasil lukisan kalian” kata-kata dari panitia tersebut berakhir bersamaan dengan pengambilan hasil lukisan kami semua di gedung aula. Setelah pengambilan lukisan selesai, kami dipersilahkan untuk keluar ruangan. Aku dan Fani berkeliling sambil mencari kantin. Beruntunglah kami menemukan kantih yang tidak jauh dari aula. Aku memesan 1 mangkok bakso dan segelas air putih. Sedangkan Fani memesan 1 piring siomay dan segelas es jus jeruk. Kami denga lahap memakan makanan yang sudah tersedia di depan mata kami. Setelah selesai memakan makanan yang kami pesan tadi, aku dan Fani sempat berkeliling-keliling sebentar sampai tanda pengumuman dari panitia bahwa peserta dipersilakan untuk memasuki aula kembali.aku dan Fani pun segera berari menuju aula. Untunglah, setelah sampai kami masih sempat duduk sebentar sebelum pengumuman di mulai. “Yaaa… sekarang kami selaku aa panitia akan mengumumkan juara-juara dalam perlombaan melukis se-Malang raya ini.” Ujar panitia yang berbicara tadi. “Daaaaannnn… juuaaraaa haaarraaapaaan tiigaaa iiaaalaaaahhh…. Pelukiiis… beerjuduuul… ‘GLOBAL WARMING PENGHNCUR DUNIIAAA!!!’ YANG DILUKISKAN OLEH FANIA ZAHRAH!!!” Dengan lantangnya panitia tersebut berkata, samai-sampai aku menutup telingaku rapat-rapat. “YYEEEAAAHHHKK!!!!” teriak Fani banggadan senang. Yaahhh?! Fani sudah dapat juara meski itu hanya juara harapan 3, tapi dia berhasil mengalahkan 99 peserta yang lainnya! Itu kan sudah hebat! (menurutku). Fani pun segera maju kedepan dengan bangganya sepeti sudah melupakan aku saja. Tapi… kemudian panitia tersebut kemali berkata-kata… “Akan kau persembahkan keada siapa kemenangan anda saat ini?” Tanya panitia tersebut kepada Fani seperti di saat wawancara. “Yaaahhh… mungkin kepada keluargaku, dan tentunya sahabat terbaikku yang kini jua sedang berada di sini dan mengikuti lmba ini juga, Fatia. Dia selalu memberiku semangat. Terimakasih.” Jawab Fani kepada panitua tersebut. “Yaahhhk… kemungkinan aku tida akan mendapat juara sekalipun…” gumamku dengan sedikit kesal. Yaahhh… tapi Fani kalau dalam bidang seni lukis dia memang juaranya dikelas! Oohh… mungkin aja aku akan mendapatkan gelar juara yang lebih tinggi dari pada Fani! Mungkin sih… tapi emungkinan itu hanya ada 1% saja… tapi coba saja!
Pengumuman demi pengumuman yang kudengar tetap saja tidak tersebut namaku. “Yaahhh… mungkin saja masih belum keberuntunganku! Lain kali kalau di coba pasti bisa!” gumamku percaya diri. Tapi… hasilnya tetap saja hasilnya 0. Dari lomba tingkat RT saja sampai tingkat kabupaten/kota tetap tidak ada yang membuahkan hasil… bagaimanapun usahaku selama ini hanyalah angin berlalu… samasekali tidak menraih gelar juara. Samai akhirnya aku putus asa… meski senang melukis, aku tetap tidak mau berusaha melukis seperti dulu lagi… aku mencoba pada bidang lain tapi bagaimana?! Ini semua sudah terlanjur?! Aku sudah tidak bisa menolanya lagi meski aku berniat mundur. Dan… di tengah kesdihan yang telah ku lami ini datang sepucuk surat. Kakakku yang membawanya sampai kekamarku… begitu kakakku sudah pergi, aku lansung membuka surat itu. Ternyata dari Fani… isinya… dia mnyuruhku untuk kembali melukis dan mulai dari awal lagi?! Begitu marahnya aku, aku sudah muak dengan kegagalan-kegagalan ini! Aku sudah bosan! Aku langsung menyobek-nyobek kertas surat yang ada di depan mataku itu dan membuangnya ke tempat sampah. Tanpa sadar, aku pun menitikkan air mata. Betapa sedihnya aku. Beberapa saat kemudian terdengar suara kaki seseoorang yang melangkah menuju kamarku. Ternyata itu adikku, Caca. Dia masih duduk di bangku play group. Kemudian dia memandangku dengan heran. Kulihat adik tersayangku itu. Aku mengerti, tatapan dimatanya yang bulat itu memandangku dengan penuh arti. Sepertinya dia iangan mengatakan sesuatu. “Kakak kenapa kok nangis? Kalau kakak nangis, nanti Caca juga sedih kak…” kata adikku. Kata-kata yang terucap dari mulutnya itu membuatku sedikit terhibur. “Kakak enggak apa-apa kok dik… eh, itu kakak punya kue di meja belajar. Ambil terus bawa ke bawah ya! Makan bersama ayah, ibu sama kak Ais.” Kataku sambil menahan tangis. “Eh?! Beneran boleh? Makasih ya kak…!” kata adikku riang sambil berlari menuju ke ruang keluarga dengan membawa sekotak kue yang aku berikan kepadanya. “Yaa…” jawabku pelan. Sekarang, setidakya aku sudah sedikit meluakan hal yang baru saja terjadi. Esok harinya ketika aku tiba di sekolah, wajah yang perama kal kulihat adalah wajah Fani. “SELAMAT PAG…” kata Fani yang bersemangat menghadapihari barunya. Tapi, melhat wajahku yang murung seperti itu, dia juga heran. “Eh Fat, ada apa? Kok lesu?” kata Fani. Sesaat aku hanya terdiam mandengar kata-kata itu. Sepertinya dia belum mengerti bagaimana suasana hatiku saat ini. Tapi kemudian aku menjawab pertanyaannya tadi… meski itu bukan kata-kata yang ingin didengar… dan kata-kata dingin yang tak ingin kuucapkan. “Ini semua bukan urusanmu…” jawabku tertunduk. “Ya jelas itu urusanku juga dong?! Aku ini kan sahabatmu!” kata Fani. Aku semakin kesal. “KAN SUDAH KUBILANG! INI BUKAN URUSANMUU!!!” kataku yang sudah kehilangan kesabaran sembari membanting pintu kelas. Meninggalkan Fani sendirian dalam kedinginan yang menyelimutinya dan sampai menusuk-nusuk hingga kedarh dagngnya. Ditambah perkataanku yang pedas tadi. Aku sesegera mungkin menghindar dari Fani. Aku dengan sekuat tenaga berlari meninggalkan kelas. “Ayo Fatia! Kamu pasti bisa!” kata-kata Fani itu selalu terlintas dalam benakku. Inginnya aku segera menghapus kata-kata itu. Dan kuanggap sebagai noda yang ingin kuhapus. Sebeeellll!!! Kenapa Fani selalu berusaha menyemangatiku? Apa tidak adakah kegiatan yang lain? Tanpa terasa kakiku terhenti disebuah tempat faforitku bersama Fani. Di tempat itu ada 3 buah bangku panjang. Di depan setiap bangku itu ada sebuah meja kecil, lalu di sekelilingnya ada tanaman hias yang di letakkan menggantung maupun diletakkan di dalam pot bunga. Aku dan Fani paling suka memakan cemilan sambil bercerita panjang lebar sampai waktu istirahat habis. Melihat tempat itu aku jadi teringat semua hal yang pernah kualami di sana. Waktu Fani tida masuk juga… waktu itu aku sedih sekali. Tidak ada teman yang bisa di ajak bercanda, waktu selesai makan pun aku langsung kembali kekelas. Sedih sekali aku waktu itu. Tapi sekarang, dia malah membuatku sedih. Perasaanku berkecamuk antara kecewa, marah, dan sedih. Kurasa aku sudah tak sanggup lagi menahan perasaanku ini di otak dan hatiku. Aku membutuhkan seseorang, yang bisa kupercaya untuk menumpahkan semua isi hatiku ini. Tapi siapa? Siapa yang bisa kupercaya? Tidak ada! kalau pun ada, mungkin orang itu hanyalah angin lalu saja. Entah kenapa aku jadi begini…? Terlalu penat sudah sekarang pikiranku ini. Lebih baik sekarang aku kembali ke kelas. Siapa tahu Fani masih ada di sana. Kurasa aku harus meminta maaf padanya atas kata-kata kasar yang telah kuucapkan tadi. Benar saja. Waktu aku samaidi kelas aku meliat Fani masih duduk termanung di sana. “Fanii…” kataku pelan. “EH Fatia?! Ada apa?” jawab Fani kaget. “Eeehhhh... a… anu… ehh… aa… aku… s.. se… sebenarnya… aku… mmm… mau…mm.. mmiinta.. mmaaf… tadi aku sudah ngomong kasar sama kamu.. maaf ya…” kataku tergagap. “Eh?! Tidak apa-apa kok! Yag lalu sudah biaran saja berlalu.. yang pentng adalah hidup kita sekarang ini. Iya nggak?” kata Fani. “Waahhh!!! I, iya!” kataku takjub. Betapa luas pengetahuan Fani! Heebaattt!!! Bagaimanaya, caranya mencai pengetahun seluas itu? Hehe.
Hari demi hari kini telah kulalui dengan semangat yang berbeda. Kini aku akan terus berusaha untuk menjadi pelukis proesional. Aku merasakan perbedaan yang luar biasa setelah sempat beberapa hari yang lalu ptus asa. Tapi, kini aku akan selalu mengingat-ingat nasehat Fani yang telah Fani berikan kepadaku. Sekarang, aku telah meminta orang tuaku untuk mendaftarkan aku di salah satu kursus melukis. Pertama-tama yang rendah dulu, kemudian ke kursus tingkat kota, tingkat nasional, dan tingkat internasional. Untuk sementara ini, aku tidak ikut lomba terlebih dahulu. Aku harus meningkatkan pengetahuanku terlebih dahulu di bidag melukis. Kemudian aku baru mengikti lomba di lingkungan RT. Pertama-tama memang aku mendapat juara 3. Tapi aku tdak boleh mengikuti lomba tingkat kota sebelum mendapat juara 1. Itu adalah keputusanku sendiri. Akhrnya aku dapat memenangkan perlombaan itu. Kemudian aku mengikuti perlombaan melukis tingkat kota. Pertama-tama aku mendapat jura harapan 2. Tapi setelah 3 kali mengikuti lomba tingkat kota, akhirnya aku berhasil mendapat juara 1. Kemudian untuk mengikuti lomba tingkat nasional tidak dulu. Aku memilih untuk belajar lagi melewati kursus selama 1 tahun. Setelah yakin, aku pun segera mendaftarkan diri utuk mengikuti sebuah lomba melukis tingkat nasional yang diselenggarakan di berbagai kota besar seperti Jakata, Surabaya, Yogyakarta, Medan, Semarang, dll. Nah, berhubung aku ini tinggal di Malang, maka aku mengikuti omba yang diselenggarakan di Surabaya. Saat pertama aku mengikuti lomba, aku sudah mendapat juara harapan 3. Tapi, itu hanya di Surabaya. Sedangkan tingkat nasionalnya aku mendapat peringkat 12. Yah.. sudah lumayan. Di Surabaya dari 250 peserta yang aku sudah berhasil menglahkan 244 peserta yang lainnya. Setelah sekitar 3 kali aku mengkuti lamba melukis tingkat nasional, aku baru bisa mendaat juara 1 hanya di Surabaya. 2 kali aku mengikuti lomba melukis tingkat nasional lagi, aku sudah mendapat juara 1! Setelah itu aku mengikuti kursus melukis tingkt internasional yang berada di Indonesia. Nanti, bagi yang dinilai bagus akn dikirim ke Italia, Eropa untuk mengikuti lomba tingkat internsional. Akhirnya dipilih 3 orng yang di dalamny juga termasuk aku! Aku senang sekali. Untunglah waktu itu juga bersamaan dengan liburan seolah. Jadi aku bisa mengikuti lomba melukis tingkat internasional tersebut.
Aku mendapatkan edaran dari tempat kursus bahwa aku harus berangkat dari Indonesia menaiki pesawat yang ada di Jakarta. Nanti pesawat akan berangkat pada hari Jumat, 04 – Februari – 2011 pukul. 05.30 pagi. Aku pun keria sampai dirumah langsung memberitahukan kabar gembira ini kepada ayah dan ibuku. Mereka bagga sekali. Oh ya, sekarang ini aku sudah mendudukui bangku SMA. Tepatnya kelas 2 SMA. Tanggal 2 Februari aku berangkat dari Malang ke Jakarta. Disana aku menginap 2 malam dihotel, kemudian pada tanggal 4 Februari, aku berangkat dari hote sekitar pukul 03.30 pagi. Disana aku menunggu waktu check-in pesawat di bandara internasional Soekarno Hatta yang akan kunaiki. Disana kemudian aku juga bertemu dengan 2 temanku lainnya yang juga terpilih. Mereka Meta dan Kiki. “Hai Meta! Hai Kiki!” sapaku. Mereka pun menoleh kearah suara tadi, suaraku. “Eh, Fatia?” kata Kiki. Mereka pn langsung berlari kearahku dan duduk di bangku panjang yang kosong dibelakangku. Kami pun saling ngobrol dan bercanda. Ternyata Mete dan Kiki menaiki pesawat yang sama dengan aku, sayang bangkunya beda jauh. Aku duduk di barisan tengah, Meta dibelakang, da Kiki didepan. Kami untuk ke Italia menggunakan pesawat Garuda Indonesia boieng. 0144. Biasanya orang akan pergi hanya membawa pakaian dan oleh-oleh saja, sekarang ada alat lukisnya. Meski aku hanya membabawa 1kanvas sih… tapi, kata orang tuaku aku akan dibelikan alat lukis yang ada di Italia. Yah… hitung-hitung biar lukisannya tambah bagus juga sih… bisa aja di sana kualitas alat lukisnya lebih bagus dari pada di Indonesia. Ohya, kalian tahu enggak kenapa aku sangat tertarik ikut lomba melukis tngkat internasional ini? Ya itu karena selain hadiahnya menarik (mendapat US$. 1.500.000 alias 1 ½ juta dolar Amerika?!), bisa ke luar negeri, aku juga bisa melihat seberapa kreatifnya orang di luar negeri itu. Lagipula, bagi yang gagal masih bisa mengiuti lomba susulan. Ya, lomba disana akan diulang selama 3 kali. Yah tapi, tiap perulangan lomba akan dikurangi US$. 500.000. tapi yah, lumayan kan? Kalau ditukar dengan rupiah bisa berjuta-juta itu! Akhirnya pada lomba pertama, aku tidak juara, tetapi aku berada di peringkat 10. Perulangan pertama, aku mendapat juara harapan 3. Yang ke-2 mendapat juara 3! Dan perulangan terakhir aku mendapat juara 1! Hebat sekali! Yaahhh… tapi waktu itu aku hany mendapatkan US$. 500.000. tapi lumayan kan? Sekarang, aku sudah 1bulan lebih 3 hari di Italia. 2 hari lagi aku pulang. Hari Sabtu 04 Maret 2011 aku berangkat pulang dari rumah penduduksekitar yang kutumpangi. Rumah itu memang telah disiapkan untuk home stay. Aku berangkat dari tempat home stay pukul. 05.00. check-in pukul 06.00 dan berangkat pukul 07.00. sekarang aku dari bandara internasional Italia, Airport, aku menaiki pesawat Garuda Indonesia boeing. 0144 yang sama seperti saat aku berangkat.
Esok lusanya, hari Senin aku tiba di bandara Soekarno Hatta, Jakarta. Setelah mengangkut barang-barangku, ibuku yang waktu itu ikut denganku pun ikut membantu. Kami segera keluar menuju rung tunggu bandara. Disana sudah ada banyak sekali orang yang menunggu kedatangan keluarganya. Saat keluar, aku melihat ayah, kak Ais, dan Caca telah menunggu. Adikku yang pertmakali melihihatku pun langsung berteriak-teriak memanggil.”KAK TIAA!!! KAK TIAAA!!! DISINI” kata adikku. Memang, keluargaku biasa memanggilku dengan sebutan Tia.aku segera berlari menuju adikku tersayang itu. Setelah tiba disana ayahku bertanya begini “Tia, bagaimana kedaanmu? Baik? Bagaiana perlombaannya? Kamu sukses tidak?”. “YA beginilah. Aku sehat kok! Oh ya, ada kabar gembira untuk kalian semua!” kataku gembira “Ada apa dik? Kamu menang lomba?” Tanya kakakku. Akumengangguk kecil. “Tapi aku hanya menang pada perulangan lomba yang terakhir.” Kataku. “Aaahhh…itu tidak masalah! Yang penting kamu sudah menang!” kata kakakku. “Ya sudah, sekarang kita naik taksi untuk ke stasiun untuk naik kereta. Kita makan paginya di sana saja ya.” Kata ayahku. Semuanya pun berkumpul didepan bandara sambil menunggu taksi datang.